WARTAKINIAN.COM - Banyaknya kasus bullying di lingkungan sekolah menunjukkan lemahnya peraturan anti kekerasan di lingkungan sekolah serta pengawasan guru terhadap siswanya tidaklah maksimal. Tak jarang, pihak sekolah tutup mata dengan kasus bullying dan tidak menyelesaikannya dengan tuntas.
Para pelaku bully dapat dianggap memiliki perilaku menyimpang yang terkadang tidak dilakukan oleh anak seusianya. Banyak faktor seorang anak melakukan bullying, seperti kecemburuan antar teman, tidak mendapatkan perhatian, atau merasa punya kuasa.
Bahkan, tak jarang korban bully melakukan bunuh diri akibat tidak tahan terhadap tekanan dan trauma pasca-bullying yang dialaminya.
Apabila ditelusuri lebih jauh, pendidikan dalam keluarga dan hubungan anak dengan orang tua juga dapat mempengaruhi seorang anak menjadi pelaku bullying.
Beberapa kasus menunjukkan anak-anak yang memiliki masalah keluarga rentan menjadi pelaku bullying karena ingin mencari perhatian dan bertindak seenaknya.
Banyaknya kasus bullying di lingkungan sekolah seharusnya membuat semua yang terlibat berbenah diri. Tidak hanya pihak sekolah, dari keluarga dan lingkungan masyarakat juga harus benar-benar serius dalam mencegah adanya bullying.
Dimulai dari lingkungan keluarga yang dapat memberikan perhatian dan edukasi dini terhadap anak hingga lingkungan sekolah yang memiliki aturan dan sanksi jelas terhadap kasus bullying. Meskipun sudah ada payung hukum bagi pelaku bullying, tidak lantas membuat bullying hilang apalagi di lingkungan sekolah.
Melansir liputan6.com (30/04/2024), Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Putu Elvina menjelaskan, perundungan di lingkungan sekolah umumnya terjadi karena adanya pembiaran.
"Di awal-awal perundungan itu lebih banyak terkesan untuk bercanda, atau anak yang usil isengin anak yang lain. Tapi karena ini sering dianggap hal yang biasa, maka perundungan itu naik dinamikanya menjadi kekerasan," ungkap Putu.
Menurut dia, pelaku yang masih di bawah umur tentu tak luput dari hukuman. Dalam konteks perlindungan anak, aturan tetap harus dipatuhi, tetapi mereka juga harus mendapat rehabilitasi.
"Jangan sampai kemudian pelaku ini melakukan yang kesekian kalinya di tempat lain dengan orang yang lain," tuturnya.
Putu mengingatkan, pelaku di bawah umur juga memiliki kapasitas mental yang masih dalam masa tumbuh kembang. Meski sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk, seringkali pelaku tak mampu mempertimbangkan konsekuensi hukum atas perbuatannya.
"Karena beberapa anak bahkan enggak mengerti hukum. Makanya, kemudian budaya hukum kita masih sangat rendah, masih sering kita kemudian melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sangat sederhana," ungkapnya.
"Dorongan untuk melakukan kekerasan dengan cara mem-bully itu kadang-kadang lebih besar daripada kemampuan akal sehat mereka untuk memfilter benar atau salah tadi," kata dia.
Komisioner KPAI Putu Elvina itu mengatakan, sekolah harus bisa mengawasi perilaku murid di lingkungannya. Terutama, guru wajib menegaskan kepada siswa bahwa perundungan adalah hal yang sangat dilarang.
“Guru harus memastikan bahwa di sekolah mereka, di kelas mereka itu zero tolerance terhadap perundungan. Anak-anak dihimbau kalau ada temannya yang suka mengganggu, membully, itu bisa dilaporkan sehingga pencegahan awal bisa dilakukan,” ujar Putu.
“Jadi nanti akan ada anak-anak yang rajin lapor. Guru harus proaktif untuk menyikapi ini, jangan sampai kemudian pembiaran ini dijadikan pintu masuk untuk bully yang lebih serius,” dia mengakhiri.
(Dwi)