WARTAKINIAN.COM - Kode Etik Jurnalistik (KEJ) merupakan pedoman moral dan profesional bagi wartawan dalam menjalankan tugasnya. Di Indonesia, KEJ ditetapkan oleh Dewan Pers dan menjadi panduan bagi seluruh wartawan dan media massa. Kode etik ini bertujuan untuk menjaga integritas, independensi, serta kualitas informasi yang disampaikan seorang wartawan yang melakukan kegiatan jurnalis kepada publik. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) adalah himpunan etika profesi kewartawanan. Wartawan selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang kepada kode etik jurnalistik, hal tersebut bertujuan agar seorang wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyajikan sebuah informasi atau pemberitaan terhadap publik.
Dalam perkembangan zaman saat ini yang memasuki era digital jumlah media di Indonesia sangatlah besar, yang semua serba digitalisasi dan arus informasi serta pemberitaan begitu pesat mudah didapatkan masyarakat dengan adanya media online. Seiring dengan itu, jumlah media online di Indonesia juga sangatnya banyak dan hampir sebagian perusahaan media yang belum memenuhi syarat sehingga banyak oknum wartawan yang direkrutnya banyak tidak memahami tugas dan fungsinya sebagai wartawan sehingga melakukan tindakan-tindakan yang melawan hukum diluar kinerja seorang wartawan. Seperti yang dilansir dalam website Dewan Pers Indonesia, dalam perkembangan zaman dan memasuki era digital saat ini, jumlah media di Indonesia sangatlah besar hingga mencapai 47 ribu media, dengan komposisi 2.000 adalah media cetak, 674 radio, 523 televisi termasuk lokal, dan selebihnya media daring atau online di level nasional maupun lokal mencapai 43 ribu. Seiring dengan hal itu, pengaduan masyarakat ke Dewan Pers juga terus meningkat. Pada tahun 2017, mencapai sekitar 600 kasus, naik dibanding tahun sebelumnya hanya 400 kasus. Sebanyak 80 persen di antaranya menunjukkan media melanggar kode etik jurnalistik, mulai dari tidak berimbang, tidak akurat, tak melindungi identitas korban kejahatan asusila, tidak bersikap professional, pemerasan, penyuapan, plagiat, hingga bentuk pelanggaran etika lainnya.
Mengingat hal tersebut diatas, Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Wartawan Republik Indonesia (DPC PWRI) Kabupaten Tasikmalaya mensosialisakan program tentang Kode Etik Jurnalis. Program tersebut disosialisasikan melalui X Banner yang bertuliskan sebanyak 11 Pasal Kode Etik Jurnalistik dan disebarkan kepada seluruh element atau instansi mulai dari tingkat Pemerintah Desa, Kecamatan, seluruh Dinas, sekolah-sekolah tingkat SD, SMP sampai SMA/sederajat dan sejumlah instansi lainnya yang ada di wilayah hukum Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya. Menurut Chandra, hal tersebut bertujuan agar seluruh instansti manapun ikut serta memahami dan mengetahui tentang Kode Etik Jurnalis (KEJ) guna meminimalisir para oknum yang melanggarnya.
“Wartawan professional pada hakikatnya adalah pekerja intelektual, sama halnya dengan peneliti atau ilmuwan yang memulai pekerjaannya dari pemikiran kritis
mengenai suatu fenomena dalam masyarakat, lalu mencari jawabannya melalui investigasi atau wawancara mendalam untuk kemudian diseleksi dan disebarkan bagi masyarakat. Di sinilah pentingnya profesionalisme wartawan dan kepatuhan pada kode etik jurnalistik, dan seiring dengan perkembangan teknologi dan masyarakat, dia tidak hanya menguasai masalah, tapi juga dapat menjadi agent of change bagi masyarakat. Maka dari itu, seluruh instansi baik di ruang lingkup pemerintahan ataupun instansi lainnya termasuk para aparat penegak hukum (APH) wajib mengetahui dan memahami isi dari ketentuan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) tersebut agar bisa turut serta meminimalisir para oknum yang melanggarnya serta turut membantu menilai para pekerja pers dan wartawan yang bekerja melakukan kegiatan jurnalistik dilapangan“, tegas Chandra.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
1. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
2. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
3. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
4. Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
5. Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
6. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
7. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
8. Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
9. Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
10. Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
11. Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Kode Etik Jurnalistik menempati posisi yang sangat vital bagi wartawan, bahkan dibandingkan dengan perundang-undangan lainnya yang memiliki sanksi fisik sekalipun, Kode Etik Jurnalistik memiliki kedudukan yang sangat istimewa bagi wartawan. Ketua Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Wartawan Republik Indonesia (DPC PWRI) Kabupaten Tasikmalaya sangat menekankan betapa pentingnya Kode Etik Jurnalistik bagi wartawan. Menurutnya, Kode Etik setidak-tidaknya memiliki lima fungsi, yaitu sebagai berikut ; Melindungi keberadaan seseorang profesional dalam berkiprah di bidangnya; Melindungi masyarakat dari malapraktik oleh praktisi yang kurang profesional; Mendorong persaingan sehat antarpraktisi; Mencegah kecurangan antar rekan profesi; dan Mencegah manipulasi informasi oleh narasumber.
Kode Etik Jurnalistik yang lahir pada 14 Maret 2006, oleh gabungan organisasi pers dan ditetapkan sebagai Kode Etik Jurnalistik baru yang berlaku secara nasional melalui keputusan Dewan Pers No 03/ SK-DP/ III/2006 tanggal 24 Maret 2006, misalnya, sedikitnya mengandung empat asas, yaitu ;
1. Asas Demokratis. Demokratis berarti berita harus disiarkan secara berimbang dan independen, selain itu, Pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi, dan pers harus mengutamakan kepentingan publik. Asas Demokratis ini juga tercermin dari pasal 11 yang mengharuskan, Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proposional. Sebab, dengan adanya hak jawab dan hak koreksi ini, pers tidak boleh menzalimi pihak manapun. Semua pihak yang terlibat harus diberikan kesempatan untuk menyatakan pandangan dan pendapatnya, tentu secara proposional.
2. Asas Profesionalitas. Secara sederhana, pengertian asas ini adalah wartawan indonesia harus menguasai profesinya, baik dari segi teknis maupun filosofinya. Misalnya Pers harus membuat, menyiarkan, dan menghasilkan berita yang akurat dan faktual. Dengan demikian, wartawan indonesia terampil secara teknis, bersikap sesuai norma yang berlaku, dan paham terhadap nilai-nilai filosofi profesinya. Hal lain yang ditekankan kepada wartawan dan pers dalam asas ini adalah harus menunjukkan identitas kepada narasumber, dilarang melakukan plagiat, tidak mencampurkan fakta dan opini, menguji informasi yang didapat, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record, serta pers harus segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang tidak akurat dengan permohonan maaf.
3. Asas Moralitas. Sebagai sebuah lembaga, media atau pers dapat memberikan dampak sosial yang sangat luas terhadap tata nilai, kehidupan, dan penghidupan masyarakat luas yang mengandalkan kepercayaan. Kode Etik Jurnalistik menyadari pentingnya sebuah moral dalam menjalankan kegiatan profesi wartawan. Untuk itu, wartawan yang tidak dilandasi oleh moralitas tinggi, secara langsung sudah melanggar asas Kode Etik Jurnalistik. Hal-hal yang berkaitan dengan asas moralitas antara lain wartwan tidak menerima suap, wartawan tidak menyalahgunakan profesi, tidak merendahkan orang miskin dan orang cacat (Jiwa maupun fisik), tidak menulis dan menyiarkan berita berdasarkan diskriminasi SARA dan gender, tidak menyebut identitas korban kesusilaan, tidak menyebut identitas korban dan pelaku kejahatan anak-anak, dan segera meminta maaf terhadap pembuatan dan penyiaran berita yang tidak akurat atau keliru.
4. Asas Supremasi Hukum. Dalam hal ini, wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum yang berlaku. Untuk itu, wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku. Dalam memberitakan sesuatu wartawan juga diwajibkan menghormati asas praduga tak bersalah.
(Red)