WARTAKINIAN.COM - Pengamat Politik Universitas Soedirman (Unsoed), Ahmad Sabiq menilai munculnya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah Kabupaten Banyumas, seperti pasangan Sadewo-Lintarti, memang mengejutkan.
Menurutnya, hal ini adalah fenomena baru yang belum pernah terjadi sebelumnya di daerah yang selama ini dikenal dengan dinamika politiknya yang cukup tinggi.
"PDIP, dengan sumber daya, jaringan politik, dan pengaruh terhadap pemilih yang dominan, memang masih mendominasi. Namun, dalam beberapa pilkada sebelumnya, selalu ada pihak yang berani menantang dominasi tersebut sehingga persaingan berlangsung ketat," ujarnya kepada bekasimedia.com Senin (2/9/2024).
Kondisi saat ini, lanjutnya, tampaknya mencerminkan perubahan signifikan dalam strategi partai-partai lain. Popularitas dan elektabilitas calon yang diusung PDIP dianggap sangat kuat, ditambah lagi dengan sumber daya ekonomi yang besar.
Hal ini membuat partai-partai lain merasa gentar atau minder untuk bersaing. Mereka memilih menghindari kompetisi berisiko dan lebih memilih untuk bergabung dalam koalisi mendukung satu pasangan yang diyakini akan menang, daripada menghadapi kekalahan yang hampir pasti. "Sebenarnya, Banyumas tidak kekurangan kandidat alternatif yang kompeten dan dikenal oleh pemilih," katanya.
Sebelumnya, pasangan Ma’ruf-Imanda sempat muncul sebagai opsi. Partai-partai pun memiliki cukup kader dengan kapasitas dan pengalaman. Namun, logika kemenangan elektoral tampaknya menjadi pertimbangan utama.
Partai-partai sudah merasa kalah sejak awal, sehingga lebih memilih langkah aman.
Dari sudut pandang demokrasi, calon tunggal, bagaimanapun juga, mengurangi esensi dari kompetisi yang sehat.
Demokrasi seharusnya memberikan pilihan kepada pemilih, dan keberadaan calon tunggal menghilangkan elemen penting dari pemilihan, yakni kompetisi antar calon pemimpin.
Selain itu, fenomena ini berpotensi mengurangi partisipasi pemilih. Ketika tidak ada alternatif yang jelas, pemilih mungkin merasa pilihan mereka tidak akan berdampak signifikan, yang bisa menyebabkan apatisme.
Secara keseluruhan, fenomena calon tunggal ini bisa menjadi alarm bagi kualitas demokrasi kita. Meskipun secara prosedural sah, keberadaan calon tunggal menyisakan kekecewaan.
Jika pilkada adalah pesta demokrasi, kali ini kita seolah diundang ke sebuah pesta yang hanya menyajikan satu menu hidangan. Keterbatasan pilihan ini mengurangi semangat partisipasi, membuat pemilih merasa seakan suara mereka tidak lagi berarti.
Pada akhirnya, demokrasi yang seharusnya hidup dari persaingan ide dan visi menjadi sunyi. Kita perlu bertanya, apakah ini masih pesta demokrasi?
(Denis)