WARTAKINIAN.COM - Terkait sengketa Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Kabupaten Tasikmalaya tahun 2024, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) telah mengabulkan sebagian permohonan Perkara Nomor 132/PHPU.BUP-XXIII/2025 tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Bupati dan Wakil Bupati Tasikmalaya 2024.
Adapun putusan MK tersebut yang dibacakan dalam Sidang Pengucapan Putusan pada Senin, 24/2/2025 yang digelar di Ruang Sidang Pleno Gedung I MK yaitu mendiskualifikasi Ade Sugianto sebagai Calon Bupati terpilih dari pasangan calon nomor urut 3 karena dianggap telah menjabat selama dua periode dan memerintahkan KPU Kabupaten Tasikmalaya untuk melakukan pemungutan suara ulang (PSU) dalam waktu 60 hari setelah dibacakan putusan.
Dampak dari adanya putusan MK tersebut diatas, KPU dan Bawaslu Kabupaten Tasikmalaya menjadi sorotan dari sejumlah kalangan masyarakat Kabupaten Tasikmalaya karena dianggap tidak netral dan cacat administrasi karena telah menetapkan Ade Sugianto selaku Calon Bupati dari pasangan Nomor urut 3 dengan dalil lain dan menganggap jika Ade Sugianto belum menjabat selama dua periode sehingga masih bisa menjadi perserta konstestan di Pilkada 2024.
Selain hal itu, masyarakat juga menilai KPU dan Bawaslu Kabupaten Tasikmalaya menjadi penyebab gagalnya hasil Pilkada 2024 dalam hal Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tasikmalaya yang menghabiskan anggaran senilai Rp. 140.000.000.000,- (Seratus Empat Puluh Miliyar Rupiah).
Seperti yang diungkapkan oleh Dewan Pembina 2 Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) Kabupaten Tasikmalaya sekaligus Advokat Alfie Ahmad Sa’adan Hariri, SE,.SH,.MH, NLP., mengatakan, “Dalam putusan mahkamah konstitusi nomor 132/PHPU.BUP-XXIII/2025 hakim mempertimbangkan Surat Telegram atau Radiogram Gubernur Jawa Barat Nomor 131/169/Pemksm yang terbit pada 5 September 2018. Dari Radiogram tersebut, Mahkamah mengutip poin CCC TTK yang menyatakan agar Ade Sugianto melaksanakan tugas sehari-hari Bupati sampai dengan dilantiknya Bupati atau diangkatnya Pj Bupati.
Menurut Mahkamah Konstitusi seseorang sudah dihitung menjabat sebagai kepala daerah sejak secara riil dan faktual menjalankan tugas menggantikan dan bukan sejak pelantikan sebagai pejabat pengganti (acting).
Pertimbangan demikian merujuk pada empat Putusan MK terdahulu, yakni Nomor 22/PUU-VII/2009, 67/PUU-XVIII/2020, 2/PUU-XXI/2023, dan 129/PUU-XXI/2024. Atas dasar inilah mahkamah kostitusi membuat putusan harus diadakan pemilihan suara ulang (PSU), pertanyaanya adalah ;siapakah orang atau lembaga yang telah membuat keputusan atau yang meloloskan calon yang sudah jelas dan tegas ada empat putusan mahkamah konstitusi sebagai petunjuk hukum tentang perhitungan masa menjabat seorang kepala daerah, artinya di sini ada lembaga yang mengakibatkan terjadinya harus ada pemungutan suara ulang ?” ungkapnya.
Lebih lanjut Alfie pun menegaskan, “Bahwa selanjutnya kita harus lihat lebih dalam apakah benar lembaga penyelenggara pemilu tersebut meloloskan calon yang di duga kuat telah melaksanakan tugas jabatanya selama satu masa periode sebelum masa jabatanya yang kedua secara full menurut putusan MK di atas?. Selanjutnya apakah penyelenggara pilkada yang dalam hal ini adalah tanggung jawab KPU Kabupaten Tasikmalaya tidak memahami hierarki hukum dimana apabila ada hukum yang undakanya lebih rendah berbenturan dengan hukum yang lebih tinggi derajatnya, maka hukum yang lebih tinggi derajatnya lah yang harus jadi dasar untuk membuat sebuah keputusan ?.
Selanjutnya apakah pada saat sebelum keputusan diambil untuk meloloskan calon yang patut di duga telah dua kali menjabat sebagai bupati tersebut tidak ada masukan dari masyarakat dalam bentuk apapun ?.
Hal inilah diantara yang menjadi pertanyaan pertanyaan besar dalam perkara ini, dan apabila semuanya semua pertanyaan diatas telah di fahami oleh penyelenggara dalam hal ini adalah KPU Kabupaten Tasikmalaya, maka apakah KPU Kabupaten Tasikmalaya tidak termasuk melanggar perundang undangan.
(wwn)